Pelawak Atau Ustadz?

Pelawak Atau Ustadz?


Jaman masih remaja dulu, kami
mengelompokkan kelompok
pengajian menjadi dua. Satu kaji tua .
Dan satu lagi adalah kaji muda . ( Kaji
adalah pelafalan ngaji yang menjadi
akar kata pengajian. Biasa dipakai,
umumnya, oleh lidah orang-orang
kampung)
Yang dimaksud dengan kaji tua
adalah pengajian yang
penceramahnya dalam
menyampaikan materi pengajian
dengan mimik muka serius (tema
yang diangkat pun umumnya ‘serem’)
. Dari salam pembuka sampai salam
penutup tak sekali pun ada guyonan
yang keluar. Pengajian model begini
selalu bikin ngantuk karena
membosankan. Tentu saja, gaya
ceramah begitu sangat tidak cocok
untuk kami yang masih ‘liar’. Namun
sangat pas untuk orang-orang tua
yang, menurut hemat kami yang lugu,
memang semestinya mikir serius. Lha
jaraknya dengan kuburan makin
dekat, bukan?
Sementara yang dimaksud dengan
kaji muda adalah pengajian yang
penceramahnya gemar betul
membuat kami tertawa. Sedikit-
sedikit ngelawak. Sedikit-sedikit
ngebanyol . Bikin semua yang hadir
ger-geran dari awal sampai akhir.
Makin gila dia mampu mengocok
perut, makin laku bagi kami ustadz
model begitu. Sampai jam berapa
pun dia berceramah, kami dengan
setia akan menanggapnya. Meski
ketika kami kemudian pulang ke
rumah masing-masing, tak satu pun
ajaran yang disampaikan ustadz itu
nyangkut di kepala. Bisa jadi semua
hanya lewat di telinga. Sebab
lawakannya lebih dominan ketimbang
muatan moral ceramahnya.
Belakangan aku curiga, yang
diundang mungkin sebenarnya bukan
ahli agama. Namun seorang pelawak
yang berpura-pura jadi penceramah.
Tak jelas betul mana yang benar.
Mungkin masih tersemangati oleh
suasana puasa yang selalu disisipi
kultum tiap kali jelang shalat tarawih,
sejak lepas Ramadhan kemarin,
lingkungan kami mengadakan jadwal
rutin ceramah dalam silaturrahim
mingguan warga. Diadakan dalam
satu bulan satu kali. (minggu-minggu
lainnya biasanya untuk yasinan).
Acaranya ramai. Hampir semua
warga menyempatkan datang. laki,
perempuan, anak-anak, remaja, janda,
duda semua hadir. Sebab selalu ada
makan-makannya diakhir acara.
Nah, pada acara ini aku mendapati
satu model kaji lagi yang aku
tangkap. Yaitu kaji genit. Maksudnya,
si penceramah genit betul dalam
menyampaikan materinya. Ciri-ciri
penceramah model begini adalah
selalu saja ibu-ibu yang disebut dan
dipanggil-panggil. Sedikit-sedikit
manggil “Ibu!” Sedikit-sedikit
manggil, “Ibu!” Padahal jelas-jelas
jamaah yang paling dekat dengan
dia, yang nongkrong di depan dia,
adalah jamaah laki-laki.

Sebagian dari mereka ini bahkan
bertingkah menyebalkan. Lagak dan
lagunya mendayu-dayu seperti
sedang merayu.
“Buk! Ibuuuk!” jamaah sepi. “Kok
nggak ada yang jawab sih. Masih
merasa gadis semua kali ya?” contoh
guyonan salah satu ustadz genit ini.
Anehnya dikata begitu, jamaah,
terutama ibu-ibu tertawa ger-geran.
Aku jangankan ketawa. Malahan
bingung apanya yang lucu. Kalimat
tidak sopan begitu tak betul keluar
dari seorang ustadz.

Tapi entahlah. Barangkali selera
orang beda-beda. Hanya jujur,
kadang aku merasa heran dengan kita
yang begitu mudah menyematkan
kata ‘ustadz’ pada seseorang.
Padahal yang keluar dari mulutnya
tidak jelas jenisnya apa. Kadang,
bahkan ajaran agama sengaja dibuat
lelucon pengundang tawa.
Menyebalkan!

by. Kho Zin




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top